Dalam beberapa hari
yang lalu media di tanah air banyak mengabarkan aksi demonstrasi para buruh
industri. Kota-kota di Indonesia yang notabene sebagai pusat pertumbuhan
Industri seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Depok, Bekasi dan beberapa daerah
lain menghadapi tuntutan buruh terkait dengan Upah Minimum yang ditetapkan. Upah
Minimum Kabupaten/Provinsi dianggap oleh para buruh sudah tidak relevan lagi
dengan perkembangan ekonomi yang terjadi, dimana inflasi selalu mengalami kenaikan. Akibatnya
harga-harga barang dan jasa juga mengalami kenaikan.
Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta setelah menghadapi tuntutan buruh yang tergabung dalam beberapa
kelompok serikat buruh, akhirnya menetapkan Kebutuhan Hidup Layak sebesar 2,2
Juta Rupiah. Namun permaslahan tidak berhenti sampai penetapan KHL, karena
kebijakan ini walaupun sudah diterima oleh kelompok buruh namun masih
mendapatkan resistensi dari para pengusaha yang tergabung dalam Apindo. Permasalahan
di Jakarta tersebut, hanya merupakan contoh dari banyak daerah lain yang
bergejolak dalam penentuan upah minimum baik Kabupaten maupun Provinsi.
Jika mengacu pada tipologi formulasi
kebijakan, maka kasus penetuan upah minimum tersebut termasuk ke dalam tipe
formulasi model kelompok. Formulasi kebijakan model kelompok menegaskan bahwa
sebuah kebijakan yang diambil merupakan hasil kompromi dari beberapa kelompok
yang berkepentingan. Para individu yang memiliki kepentingan mengikatkan diri
secara formal maupun informal dalam suatu kelompok demi melancarkan tuntutan-tuntutan
terhadap pemerintah. Kelompok ini lah yang akan menjadi kekuatan dan jembatan
penting antara individu dengan pemerintah.
Kebijakan merupakan
perjuangan antar kelompok. Dalam konteks penetuan upah minimum
kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat antara lain serikat pekerja (seperti
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dan
Pemerintah. Serikat pekerja sebagai
pihak yang notebene sebagai pihak yang mewakili kepentingan buruh, dan kemudian
Apindo sebagai wakil dari kepentingan para pemiliki modal. Kepentingan buruh
lebih berorientasi pada upaya untuk mendapatkan upah yang tinggi, sedangkan
para pemilik modal berkepentingan untuk mendapatkan tenaga kerja yang dapat
dibayar rendah demi mendapatkan profit. Disisi lain pemerintah juga memiliki
kepentingan-kepentingan baik kepentingan yang manifest maupun laten.
Tahapan
selanjutnya adalah mencari ekuilibrium dari masing-masing kepentingan. Menurut
Kusumanegara (2010:21) tahapan ini sudah memasuki tugas dari sistem politik
yaitu untuk :
a) Memapankan
aturan main yang berlaku bagi perjuangan kelompok
b) Mengatur
kompromi dan menyeimbangkan kepentingan
c) Membentuk
kompromi dalam bentuk kebijakan
Jadi
sistem politik tersebut secara garis besar untuk mengatur konflik kepentingan.
Melakukan kompromi untuk menyeimbangkan kepentingan. Dalam menyusun kompromi
tersebut tentunya masing-masing pihak akan menggunakan kekuatan pengaruhnya
masing-masing. Adapun ada beberapa hal yang mempengaruhi kekuatan pengaruh dari
kelompok-kelompok kepentingan, antara lain :
a) Jumlah
pengikut, anggota, atau massa dari organisasi
b) Kekayaan
yang dimiliki oleh organisasi
c) Kepemimpinan
organisasi
d) Akses
ke pembuat keputusan
Semakin
besar jumlah anggota organisasi, maka akan semakin kuat pengaruhnya dalam
proses untuk memasukkan kepentingan-kepentingan kelompoknya dalam kebijakan. Selain
itu, semakin kaya dan akses luas kepada pembuatan kebijakan, maka
kepentingannya pun akan semakin mudah masuk dalam pembuatan kebijakan.
Proses untuk mendapatkan ekilibrium tersebut
diibaratkan dengan ring tinju. Pada proses itulah masing-masing kelompok
kepentingan melakukan penekanan-penekanan, bargaining, negosiasi, dan kompromi
atas berbagai tuntutan kelompok yang berpengaruh. Kebijakan yang dihasilkan
biasanya merepresentasikan dari kelompok-kelompok yang berpengaruh.