Minggu, 06 Januari 2013

Formulasi Model Kelompok dalam Kebijakan Upah Minimum



Dalam beberapa hari yang lalu media di tanah air banyak mengabarkan aksi demonstrasi para buruh industri. Kota-kota di Indonesia yang notabene sebagai pusat pertumbuhan Industri seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Depok, Bekasi dan beberapa daerah lain menghadapi tuntutan buruh terkait dengan Upah Minimum yang ditetapkan. Upah Minimum Kabupaten/Provinsi dianggap oleh para buruh sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ekonomi yang terjadi, dimana inflasi  selalu mengalami kenaikan. Akibatnya harga-harga barang dan jasa juga mengalami kenaikan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setelah menghadapi tuntutan buruh yang tergabung dalam beberapa kelompok serikat buruh, akhirnya menetapkan Kebutuhan Hidup Layak sebesar 2,2 Juta Rupiah. Namun permaslahan tidak berhenti sampai penetapan KHL, karena kebijakan ini walaupun sudah diterima oleh kelompok buruh namun masih mendapatkan resistensi dari para pengusaha yang tergabung dalam Apindo. Permasalahan di Jakarta tersebut, hanya merupakan contoh dari banyak daerah lain yang bergejolak dalam penentuan upah minimum baik Kabupaten maupun Provinsi.
 Jika mengacu pada tipologi formulasi kebijakan, maka kasus penetuan upah minimum tersebut termasuk ke dalam tipe formulasi model kelompok. Formulasi kebijakan model kelompok menegaskan bahwa sebuah kebijakan yang diambil merupakan hasil kompromi dari beberapa kelompok yang berkepentingan. Para individu yang memiliki kepentingan mengikatkan diri secara formal maupun informal dalam suatu kelompok demi melancarkan tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah. Kelompok ini lah yang akan menjadi kekuatan dan jembatan penting antara individu dengan pemerintah.
Kebijakan merupakan perjuangan antar kelompok. Dalam konteks penetuan upah minimum kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat antara lain serikat pekerja (seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dan Pemerintah.  Serikat pekerja sebagai pihak yang notebene sebagai pihak yang mewakili kepentingan buruh, dan kemudian Apindo sebagai wakil dari kepentingan para pemiliki modal. Kepentingan buruh lebih berorientasi pada upaya untuk mendapatkan upah yang tinggi, sedangkan para pemilik modal berkepentingan untuk mendapatkan tenaga kerja yang dapat dibayar rendah demi mendapatkan profit. Disisi lain pemerintah juga memiliki kepentingan-kepentingan baik kepentingan yang manifest maupun laten.
            Tahapan selanjutnya adalah mencari ekuilibrium dari masing-masing kepentingan. Menurut Kusumanegara (2010:21) tahapan ini sudah memasuki tugas dari sistem politik yaitu untuk :
a)      Memapankan aturan main yang berlaku bagi perjuangan kelompok
b)      Mengatur kompromi dan menyeimbangkan kepentingan
c)      Membentuk kompromi dalam bentuk kebijakan  
Jadi sistem politik tersebut secara garis besar untuk mengatur konflik kepentingan. Melakukan kompromi untuk menyeimbangkan kepentingan. Dalam menyusun kompromi tersebut tentunya masing-masing pihak akan menggunakan kekuatan pengaruhnya masing-masing. Adapun ada beberapa hal yang mempengaruhi kekuatan pengaruh dari kelompok-kelompok kepentingan, antara lain :
a)      Jumlah pengikut, anggota, atau massa dari organisasi
b)      Kekayaan yang dimiliki oleh organisasi
c)      Kepemimpinan organisasi
d)      Akses ke pembuat keputusan
Semakin besar jumlah anggota organisasi, maka akan semakin kuat pengaruhnya dalam proses untuk memasukkan kepentingan-kepentingan kelompoknya dalam kebijakan. Selain itu, semakin kaya dan akses luas kepada pembuatan kebijakan, maka kepentingannya pun akan semakin mudah masuk dalam pembuatan kebijakan.
Proses untuk mendapatkan ekilibrium tersebut diibaratkan dengan ring tinju. Pada proses itulah masing-masing kelompok kepentingan melakukan penekanan-penekanan, bargaining, negosiasi, dan kompromi atas berbagai tuntutan kelompok yang berpengaruh. Kebijakan yang dihasilkan biasanya merepresentasikan dari kelompok-kelompok yang berpengaruh.


Kamis, 27 Desember 2012

Etika Pelayanan Publik




Overview
Pelayanan publik merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Pelayanan publik yang baik, akan mendorong tumbuhnya kesejahteraan dan kepuasan masyarakat. Dalam ranah makro misalnya jika pelayanan dalam investasi baik maka akan mendorong tumbuhnya aktivitas-aktivitas ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja dan memunculkan usaha baru bagi masyarakat. Selain itu pelayanan publik juga merupakan cerminan dari kinerja birokrasinya. Jika pelayanan publiknya baik, logikanya berarti sistem dalam birokrasnya juga berjalan dengan baik. Namun, jika kualitas pelayanan publiknya rendah, maka logikanya sistem dalam birokrasinya juga tidak berjalan maksimal. 
Pelayanan publik di Indonesia diakui atau tidak memang masih memilliki banyak permasalahan. Menko Perekonomian Hatta Radjasa mengungkapkan ada tiga hal yang menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia yaitu tingginya angka korupsi, rendahnya pelayanan publik dan kondisi ketersediaan infrastruktur yang tergolong masih minim (sumber: http://finance.detik.com/read/2012/09/13/162016/2017783/4/hatta-masalah-korupsi-pelayanan-publik-dan-infrastruktur-segera-perbaiki, diakses pada Kamis, 6 Desember 2012). Permasalahan dalam pelayanan publik salah satunya yaitu dalam konteks etika. Pelayanan pada birokrasi publik masih diwarnai dengan pelayanan yang kurang ramah, berbelit-belit, kurang transparan, dan syarat dengan praktik KKN. Berdasarkan laporan Transparency International, Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara terkorup di dunia. Fenomena-fenomena ini semakin menunjukkan etika pelayanan publik di Indonesia masih rendah.  Padahal, seharusnya pelayanan publik harus mampu membuat masyarakat merasa di tolong dan terpenuhi kebutuhannya.
Fenomena-fenomena red tape tersebut muncul sebagai konsekuensi atas diskresi yang dimiliki oleh eksekutif. John A. Rohr (dalam Keban, 2008:166) menyatakan bahwa diskresi administrasi merupakan starting point bagi masalah moral atau etika dalam administrasi publik. Manajemen pelayanan publik tentunya harus berdasarkan etika administrator yang baik, jangan sampai diintervensi dengan kepentingan-kepentingan individu atau kelompok melainkan harus atas nama kepentingan publik. Jadi kajian etika sangat diperlukan dalam mewujudkan pelayanan publik yang berorientasi kesejahteraan masyarakat bukan golongan.

Definisi Etika Pelayanan Publik
Sebelum memahami arti dari etika pelayanan publik, tentunya harus dipahami dulu makna dari etika dan pelayanan publik. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan atau watak. Solomon (dalam Kumorotomo, 2007: 7) menjelaskan bahwa etika mencakup dua hal yaitu pertama, etika sebagai disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya dan kedua, nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Pendapat Solomon menekankan bahwa etika merupakan cabang ilmu dan nilai-nilai untuk mengatur tingkah laku manusia. Sedangkan Bertens (dalam Keban, 2008:167) menyimpulkan bahwa etika meliputi (1) nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kumpulan asas atau nilai moral yang dikenal dengan kode etik, (3) ilmu tentang baik dan buruk atau yang disebut dengan filsafat moral. Pada dasarnya pendapat Solomon dan Bertens mengemukakan dua substansi yaitu dari sudut keilmuan dan praktik. Sudut pandang keilmuan etika dipandang sebagai cabang ilmu, sedangkan dari sisi praksis etika merupakan nilai yang dijadikan pedoman untuk mengatur tingkah laku. Jadi, etika merupakan nilai-nilai yang dianut untuk mengatur tingkah laku manusia dalam ruang kehidupannya.
            Pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Jadi, pelayanan publik merupakan usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat dari penyelenggara pelayanan publik.
            Setelah mengetahui makna etika dan pelayanan publik, maka selanjutnya adalah memaknai arti dari etika pelayanan publik. Menurut Denhardt (dalam Keban, 2008: 168) etika pelayanan public diartikan sebagai filsafat dan professional standart (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik. Definisi Denhardt tersebut menekankan etika pelayanan publik sebagai kode etik. Selain itu, Rohman, dkk (2010: 24) mendefinisikan bahwa etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik denagan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Definisi Rohman dkk tersebut menekankan penggunaan nilai-nilai luhr dalam pelayanan publik. Jadi, jelas bahwa etika pelayanan publik merupakan penggunaan nilai-nilai luhur oleh seorang administrator dalam memberikan pelayanan publik.

Pergeseran Etika Pelayanan Publik  
            Sesuai dengan perkembangan kondisi lingkungannya, etika selalu mengalami pergeseran. Apa yang dulu dianggap tidak baik, mungin sekarang dianggap baik, begitu sebaliknya. Misalnya pendekatan pembangunan top down munkin merupakan sesuatu yang dianggap baik, namun pada era sekarang pembangunan dengan pendekatan itu sudah tidak layak lagi. Pergeseran paradigm etika pelayanan publik disampaikan oleh Denhardt dalam bukunya yang berjudul The Ethics of Public Service pada tahun 1988. Adapun pergeseran paradigm etika pelayanan publik meliputi lima model yaitu :

a)                 Model I Tahun 1940an
Pada  Periode ini tokoh yang berpengaruh yaitu Wayne A.R. Leys. Pada tahun 1944 Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan keputusan kebijakan publik yang baik. Cara yang disampaikan oleh Leys yaitu dengan meninggalkan kebiasaan atau tradisi yang selama ini menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan, karena pemerintah terus berhadapan dengan masalah baru. Jadi, keputusan dianggap etis jika dalam pembuatan keputusan tidak hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan atau tradisi yang ada.
b)                  Model II tahun 1950an
Pada periode ini tokohnya yaitu Hurst A. Anderson. Substansinya etika pelayanan publik akan baik jika mampu merefleksikan nilai-nilai dasar (Core Value) masyarakat  yang meliputi kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
c)                  Model III tahun 1960an
Robert T. Golembiewski mengungkapkan bahwa untuk menilai etika pelayanan publik  yang baik harus meninggalkan teori-teori organisasi tradisional dan berganti sesuai dengan masanya. Hal ini dikarenakan teori-teori organisasi akan terus berkembang sesuai dengan lingkungannya.
d)                 Model IV tahun 1970an
Paradigma ke IV ini mengatakan bahwa agar menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan standar atau asumsi yang  melandasi pembuatan keputusan administratif. Standar-standar tersebut mungkin akan berubah dari waktu ke waktu dan isi dari standar tersebut harus merefleksikan komitmen terhadap nilai dasar dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap standar-standar yang digunakan dan terhadap keputusan itu sendiri.
e)                  Model V 1970-1980an
Pada periode ini tokoh yang berkontribusi yaitu John Rohr dalam Ethics of Bureaucrats (1978) dan Terry L dengan bukunya The Responsible Administrator (1986). Kedua penulis itu mensyaratkan bahwa seorang administrator dikatakan etis apabila dalam proses pengambilan keputusan memiliki prinsip independensi. Tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak-pihak yang lain.
f)                   Model VI
           Model VI ini pada dasarnya menggambarkan pemikiran Cooper bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Jadi, lingkungan organisasi sangat menentukan bahkan begitu menentukan sehingga seringkali para administrator hanya sedikit “otonomi berertika”.
            Mengacu pada pergeseran etika yang disampaikan oleh Denhardt tersebut,jelas bahwasanya etika sudah menjadi perhatian khusus dalam proses pelayanan atau administrasi publik.

Etika Pelayanan Publik Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009
Dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan demi terpenuhinya hak serta kewajiban masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik, maka pemerintah sebagai pemegang otoritas mengeluarkan UU No. 25 tentang Pelayanan Publik. Salah satu hal yang dibahas dalam undang-undang ini yaitu mengenai prinsip nilai yang menjadi acuan perilaku dalam memberikan pelayanan publik dari pemberi layanan kepada masyarakat. Prinsip nilai dibutuhkan sebagai upaya menyesuaikan tatanan nilai masyarakat yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan nilai ini tentunya akan mengubah standar harapan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu acuan perilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adapun acuan perilaku dalam UU No. 25 tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a)      Adil dan tidak diskriminatif
b)      Cermat
c)      Santun dan ramah
d)     Tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut
e)      Profesional
f)       Tidak mempersulit
g)      Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar
h)      Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara
i)        Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan dengan peraturan perundang-undangan
j)        Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan
k)      Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik
l)        Tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat.
m)    Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki
n)      Sesuai dengan kepantasan
o)      Tidak menyimpang dari prosedur
Nilai-nilai tersebut memang sangat baik jika diterapkan dengan sungguh-sungguh sebagai acuan perilaku dalam memberikan pelayanan publik. Namun, dalam konteks empirisnya nilai-nilai diatas belum menjadi budaya organisasi. Walaupun Good Governance telah masuk dalam menjalankan mesin birokrasi, namun sejauh ini etika pelayanan publiknya belum berubah secara signifikan. Komitmen pemimpin dan anggota untuk menciptakan budaya organisasi yang baik adalah kunci awal untuk menciptakan etika pelayanan publik yang luhur.

Pendekatan dalam Etika Pelayanan Publik
            Prinsip dasar dalam etika pelayanan publik yaitu apa yang baik dan buruk  bukan benar dan salah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima layanan publik. Kartasasmita (dalam Rohman, dkk: 2010: 25-27) mengungkapkan dua pendekatan dalam etika pelayanan publik yaitu :


a)         Pendekatan Teleologi
Pendekatan teleologi dalam etika berdasarkan apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh pejabat publik. Pendekatan ini memiliki acuan utama yaitu nilai kemanfaatan yang diperoleh. Penilaian baik dan buruk didasarkan atas konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam kaitannya dengan pelayanan publik pendekatan teleologis misalnya mengukur pencapaian sasaran kebijakan publik, seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan.
b)         Pendekatan Deontologi
Pendekatan ini lebih mendasarkan pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan, karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Pendekatan ini lebih melihat moral masing-masing individu, pelayanan publik akan beretika jika diisi oleh orang-orang yang mau dan mampu menegakkan prinsip-prinsip moral. Mewujudkan pendekatan ini dalam manajemen pelayanan publik tidaklah mudah. Namun, jika sudah melembaga dalam pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi akan dapat menjadi teladan.

Dilema Etika Pelayanan Publik
            Dalam mempelajari etika tentunya tidak semua orang memiliki cara pandang yang sama. Masing-masing individu akan memiliki ukuran-ukuran yang berbeda untuk melihat sesuatu itu baik atau buruk. Oleh karena itu, Denis Thompson (dalam Keban, 2008:177-180) menyampaikan beberapa isu dalam membahas etika yang dianggap dilematis dan kontroversi yaitu antara etika netralitas dan struktur serta antara etika absolut dan relatif. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a.       Etika Netralitas dan Etika Struktur
Etika netralitas adalah menempatkan etika seseorang administrator sesuai dengan kebijakan organisasi dan tidak boleh menerapkan prinsip-prinsip etika yang dianutnya. Etika netralitas ini menuntut loyalitas yang tinggi bagi administrator dan tidak mengakui adanya otonomi etika. Tentunya etika netralitas ini sangat dilematis bagi seorang administrator. Jika administrator memahami bahwa ada kesalahan dalam pengambilan keputusan, seorang administrator tersebut akan bingung akan menyangkal keputusan itu atau akan secara buta mengikutinya. Sedangkan etika struktur yaitu etika yang menempatkan pimpinan organisasi sebagai penanggung jawab atas semua keputusan dan kebijakan, bukan individu aparatnya. Oleh karena itu, jika terjadi kesalahan sebagai akibat dari keputusan atau kebijakan yang telah diambil, maka pimpinan harus menanggung resikonya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah kinerja organisasi akan berjalan labil, karena pimpinan akan sering diganti.
b.      Etika Absolut dan Etika Relatif
Etika absolut yaitu etika yang menempatkan norma-norma universal sebagai penuntun perilaku dan standar dalam pembuatan keputusan. Norma-norma ini biasanya bersumber dari ajaran agama atau filsafat hidup. Norma-norma tersebut perlu dipertahankan sebagai pertimbangan logis dalam pembuatan keputusan. Misalnya dalam pelayanan publik pemberi layanan maupun penerima layanan harus menjunjung kejujuran dan keadilan. Kejujuran dan keadilan merupakan nilai yang diajarkan dalam agama dan bersifat universal. Mereka yang memegang prinsip etika absolut disebut sebagai kaum absolutis.
Antithesis terhadap pandangan kaum absolutis datang dari kaum yang sering dinamakan kaum relativis. Kaum relativis memandang bahwa tidak ada universal moral, artinya etika itu relatif. Suatu norma dikatakan baik jika memiliki konsekuensi atau outcome yang baik. Pandangan ini menempatkan etika pada hasil nyata. Kaum relativis memandang bahwa nilai-nilai yang universal itu dianggap etis hanya dalam kondisi dan situasi tertentu. Misalnya berbohong itu secara universal tidak baik, namun berbohong akan dianggap etis jika membawa hasil yang baik. Oleh karena itu, kaum relativis percaya bahwa tidak ada nilaii yang bersifat universal jika tidak dikaitkan dengan konsekuensinya.
Birokrasi publik sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam memberikan layanan kepada publik harus memiliki administrator-administrator yang beretika baik. Pemerintah memiliki otoritas hukum, berhak mengatur setiap warganya melalui kebijakan-kebijakan publik yang dibuatnya. Oleh karena itu, konsekuensi moral harus dipegang demi mencapai pelayanan publik yang pro dengan kesejahteraan masyarakat.

Sumber Pustaka :
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan Isu. Yogyakarta: Gava Media
Rohman, Ahmad, dkk. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Malang: Averroes Press
Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Keban, Yeremias T. 2001. Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi Pelayanan Publik di Indonesia. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi IV
Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Selasa, 18 Desember 2012

Formalisme dalam Birokrasi

Pemikiran Weber mengenai birokrasi memiliki pengaruh dalam tata kelola organisasi. Weber memang tidak secara jelas mengungkapkan tentang konsep birokrasi, Weber lebih  mengungkapkan karakteristik organisasi administrasi yang seharusnya. Konsepnya organisasinya tersebut kemudian lebih dikenal dengan birokrasi yang legal dan rasional. Menurut Weber birokrasi pada saat itu bersifat tidak rasional, karena syarat dengan political-will pimpinan Dinasti Hohenzollem di Prusia. Akibatnya banyak pegawai yang tidak sesuai dengan posisinya dan bahkan tugas yang tidak maksimal karena dikerjakan bukan oleh ahlinya. Oleh karena itu, Weber memiliki pemikiran bahwa birokrasi itu harus bersifat legal-rasional, artinya birokrasi itu harus diatur melalui aturan-aturan formal tidak seenaknya sendiri, sehingga dapat dijelaskan dan dapat dipelajari.
Weber mengungkapkan bahwa organisasi itu harus memiliki ciri-ciri pertama tugas-tugas harus dideferensiasikan secara jelas (spesialisasi), sehingga akan melahirkan tenaga-tenaga ahli. Kedua, posisi-posisi harus di susun berdasarkan struktur (Hierarkhi), sehingga mudah pertanggungjawabannya. Ketiga, aturan birokrasi harus dibuat secara formal untuk menciptakan keseragaman dalam beraktifitas. Keempat, semua pekerjaan atau transaksi harus dicatat. Kelima,  semua pegawai harus bersikap impersonal. Keenam, promosi pejabat dilakukan berdasarkan kompetensi seseorang. Menurut Weber jika prinsip-prinsip tersebut dijalankan secara disiplin, maka kinerja birokrasi akan efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya.
Pemikiran Weber tersebut kemudian banyak diadopsi oleh banyak negara khususnya negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Namun, menurut Freed W. Riggs Penerapan-penerapan prinsip Weber tersebut dalam masyarakat prismatis, akhirnya melahirkan formalisme yang tinggi. Masyarakat prismastis menurut Riggs adalah masyarakat transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Akibatnya prinsip-prinsip Weber tersebut, terkesan hanya sebagai slogan, karena kurang didukung oleh karakter masyarakatnya. Jadi, formalism akhirnya mengalami degradasi makna yaitu dipahami menjadi ketidaksesuaian antara apa yang telah dituliskan sebelumnya secara formal dengan apa yang dipraktikkan secara riil.

Formalisme dikaitkan dengan Public Interest
Jeremy Bentham (1776) berpendapat bahwa kepentingan publik adalah “the sum of interest of individual citizen each of whom seeks to achieve maximum happines  and avoidance of pain”. Kepentingan public sebagai akumulasi dari kepentingan-kepentingan individu yang menjadi tujuan bersama untuk mencapai kesejahteraan. Kepentingan public kemudian dimaknai sebagai kepentingan masyarakat, bukan golongan atau sekelompok orang. Oleh karena itu, administrator sebagai pelayan public, harus mampu menjadi pelayan kepentingan publik.
Namun, formalisme dalam mewujudkan kepentingan public kerap terjadi. Misalnya pemerintah sering menyampaikan data-data mengenai perkembangan tingkat kemiskinan, namun dalam penyusunan data-data tersebut tidak dilakukan sesuai prosedur atau dimanipulasi. Padahal, data-data tersebut akan digunakan sebagai informasi dalam berbagai penyusunan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan. Selain itu, formalisme yang sering terjadi adalah dalam bidang proyek perawatan jalan raya. Proyek tidak dijalankan sesuai dengan spesifikasinya, penekanannya asalkan aspal rampung tetap untung. Jadi, tidak mengherankan jadi baru beberapa bulan di aspal, jalan rusak kembali. Padahal, jalan adalah barang public yang sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat untuk mendukung mobilisasinya.
  



Minggu, 25 Maret 2012

Meninjau Strategi Pemberdayaan Sebagai Pendekatan Alternatif dalam Pembangunan Masyarakat

Pembangunan sebagai proses induksi perubahan sosial terus berlangsung dan melewati berbagai pendekatan sesuai dengan perkembangan paradigmanya. Pemberdayaan masyarakat adalah salah satu pendekatan dari paradigma alternatif. Pendekatan ini muncul ke permukaan sekitar dekade 1970-an hingga akhir abad ke-20. Kemunculannya serumpun dengan aliran-aliran post-modern yang berkembang saat itu, seperti eksistensialisme, fenomenologi, neo-marxisme. Aliran ini menekankan pada sikap anti-estblishment, anti-sistem, anti-struktur, dan anti-determinisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan.

Pemberdayaan masyarakat dipandang sebagai pendekatan pembangunan yang lebih humanis dibandingkan pendekatan-pendekatan sebelumnya, seperti pertumbuhan ekonomi yang menganggap manusia sebagai faktor produksi. Sisi humanis pemberdayaan terletak pada penempatan manusia sebagai faktor kunci pembangunan.

Simon dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai:

Suatu aktivitas refleksif, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self determination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik (dalam Hikmat, 2006:10).

Meninjau definisi Simon, pemberdayaan masyarakat memiliki titik tekan pada self determination. Manusia menjadi berdaya bukan karena paksaan kepentingan pemrakarsa dari luar, namun manusia dapat berdaya karena ada motivasi dari dalam diri untuk berubah, sedangkan faktor dari luar hanya merupakan threatment sebagai bentuk intervensi semata. Pentingnya self determination juga disampaikan oleh Mc. Clelland melalui teori need for achievement. Ia menyampaikan bahwa :

Kegagalan pembangunan sebuah masyarakat disebabkan karena warga masyarakat tersebut tidak memiliki motivasi untuk berprestasi atau tidak memiliki need for achievement (N-Ach). Para warga bersikap fatalistis dan menerima nasibnya tanpa perlawanan (dalam Makmur, 2008: 50).

Statemen-statemen tersebut jelas bahwa motivasi diri merupakan kunci utama untuk menjadi berdaya dan sejahtera.

Kasmel dan Pernille Tanggard Andersen (2011) mengungkapkan tentang konsep pemberdayaan masyarakat (community empowerment) yaitu :

Pemberdayaan masyarakat mendorong partisipasi orang, organisasi, maupun komunitas sehingga muncul kontrol masyarakat untuk merubah kualitas kehidupan dan lingkungan. Jadi, konsep utama adalah untuk memobilisasi
masyarakat lokal untuk mengatasi kebutuhan sosial dan bekerja antar sektoral untuk memecahkan masalah lokal.

Bertolak dari pendapat Kasmel dan Pernille, pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai bentuk partisipasi masyarakat baik individu, organisasi maupun komunitas untuk memecahkan masalah lokalnya sendiri. Pandangan ini menempatkan pemecahan masalah secara berelompok dengan harapan terjadi sharing knowledge didalamnya, sehingga solusi yang dihasilkan merupakan hasil dialog dalam masyakat. Jika meninjau pendapat para ahli tentang pemberdayaan, dapat ditarik sebuah pemaknaan bahwa pemberdayaan merupakan upaya membangun yang datangnya dari dalam diri (self determination) dan didukung secara maksimal oleh lingkungannya. Jadi, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara pemberdaya, orang yang diberdayakan, dan lingkungan sosial budaya setempat.

Setiap pendekatan yang dikembangkan pada masanya pasti memiliki titik yang akan dituju. Pemberdayaan memiliki tujuan untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Sulistiyani (2004: 80) mendeskripsikan bahwa :

Kemandirian merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan, serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut.

Pendapat tersebut menghasilkan beberapa kemampuan sebagai hasil pemberdayaan. Pertama, kemampuan kognitif merupakan kemampuan berfikir berlandaskan pada pengetahuan dan wawasan. Kedua, konatif yaitu sikap perilaku masyarakat yang diarahkan pada nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Ketiga, kondisi afektif yaitu sense yang dimiliki oleh masyarakat yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Keempat, psikomotorik yaitu kecakapan dan keterampilan yang dimiliki.

Kemandirian sebagai sebuah tujuan, tentunya bukan merupakan proses yang instan. Sebagai proses pemberdayaan memiliki tiga sisi pemberdayaan (Wrihatnolo dan Dwidjowiyoto, 2007:3-7) yaitu :

a. Penyadaran

b. Pengkapasitasan

c. Pendayaan

Tahap pertama adalah penyadaran, prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka. Tahap kedua pengkapasitasan yaitu memberikan kemampuan (capacity building). Pengkapasitasan meliputi pengkapasitasan manusia (memberikan kapasitas kepada individu atau kelompok manusia untuk mampu menerima daya atau kekuasaan yang akan diberikan), organisasi (restrukturisasi), nilai (rule of the game). Tahap ketiga pendayaan yaitu memberikan daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang.

Sumodiningrat (dalam Sulistiyani, 2004:82-84) juga menyampaikan tahapan yang sama dengan Wrihatnolo dan Dwijowiyoto yaitu tahap penyadaran, transformasi kemampuan, dan pengayaan. Tahap penyadaran menekankan pada munculnya sikap konatif (sikap untuk tumbuh dan belajar) masyarakat, sedangkan tahap kedua memberikan porsi untuk mengembangkan keterbukaan wawasan dan kecakapan serta keterampilan-keterampilan dasar. Tahap ketiga, pengayaan yaitu peningkatan intelektualitas dan kecakapan serta keterampilan untuk membentuk kemandirian. Namun, secara implisit Sumodiningrat menyampaikan tahap berikutnya yaitu tahap pendampingan pasca berdaya. Hal ini untuk memberikan keberlanjutan membentuk sikap masyarakat yang dewasa.

Pada sisi yang agak berbeda Kasmel dan Anderson (2011) mengungkapkan konsep tahapan pemberdayaan, setelah ia melakukan elaborasi konsep dari beberapa teori. Ia mengungkapkan empat tahapan yaitu sebagai berikut:

Tabel 4. Konsep Pemberdayaan Kasmel dan Anderson

Tahap Pemberdayaan

Aspek

Community Activation

· Kegiatan untuk mendorong partisipasi anggota masyarakat

· Keterlibatan dan pemangku kepentingan

· Motivasi pemimpin baru

· Inisiasi dan stimulasi kelompok baru

Community Competence

· Pelatihan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan anggota masyarakat dalam memecahkan masalah komunitas

· Distribusi informasi tentang praktik yang baik

· Berbagi informasi untuk meningkatkan pemahaman konsep dan teori

Management Skill

· Pelatihan manajemen dan keterampilan

· Pelatihan menggunakan informasi dan komunikasi

Creation Supportif Environment

· Memberikan dukungan politik dan akses sumber daya

· Menciptakan lingkungan sosial yang mendukung

Sumber : Kasmel dan Anderson (2011)

Bertolak dari beberapa definisi dan pemaparan konsep tentang pendekatan pemberdayaan, maka dapat ditarik pemaknaan bahwa pemberdayaan masyarakat memiliki fokus pada pengembangan kualitas manusia. Pendekatan ini menyadari bahwa segudang permasalahan sosial yang ada di masyarakat hanya dapat dipecahkan oleh masyarakat itu sendiri sebagai subjek pembangunan. Adapun peneliti berkeyakinan bahwa untuk menjadi manusia yang berdaya/berkualitas harus melalui tahap penyadaran, peningkatan kapasitas, pendayaan dan dukungan lingkungan. Pertama, penyadaran yaitu upaya untuk menumbuhkan kesadaran individu atau masyarakat untuk membangun dirinya sendiri (konatif). Adapun untuk menggali proses pendayaan dapat digunakan beberapa indikator yaitu (a) sosialisasi program yaitu bagaimana tekhnik penyampaian pesan, sehingga pesan tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat tanpa menyinggung nilai dan norma setempat, (b) Need For Achievement yaitu kebutuhan yang tercermin dari perilaku individu sewaktu seseorang bersemangat tampak berani menantang bahaya sekalipun yang bersangkutan senantiasa mengarah pada suatu keberhasilan (Syafiie, 2006:91), (c) Partisipasi yaitu bentuk keiikutsertaan masyarakat terhadap pemecahan suatu masalah. Kedua, peningkatan kapasitas yaitu upaya mentransfer pengetahuan, keterampilan, manajemen, dan nilai-nilai yang dapat dijadikan acuan menuju kemandirian. Upaya peningkatan kapasitas dapat ditinjau dari beberapa indikator yaitu (a) Pelatihan keterampilan yaitu upaya memberikan pengetahuan praktis untuk meingkatkan kecakapan dan keahlian masyarakat, misalnya keterampilan menjahit dan memasak (b) Kelembagaan yaitu upaya untuk memberikan keahlian dalam bidang manajemen (pengelolaan), (c) Rule of the game yaitu menetapkan nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam melangkah. Ketiga, pendayaan yaitu upaya memberikan otoritas, peluang, dan kepercayaan kepada individu atau masyarakat untuk dapat berkembang sesuai dengan kreativitasnya. Tahap ketiga ini meliputi beberapa hal antara lain; (a) Otoritas yaitu seberapa jauh pihak pemberdaya memberikan kepercayaan dan wewenang kepada pihak yang diberdayakan untuk mengelola sendiri keahlian yang sudah didapatkan tanpa ada intervensi dari pihak pemberdaya namun dalam kerangka nilai yang telah dibentuk, (b) Inovasi yaitu upaya untuk mengembangkan hasil-hasil karya individu atau masyarakat sehingga nilai ekonomi dan kegunaannya dapat meningkat. Keempat, dukungan lingkungan yaitu kondisi lingkungan yang mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat. Adapun dukungan lingkungan ini meliputi: (a) Dukungan aktor yaitu bagaimana elit lokal maupun organisasi kemasyarakatan memberikan dukungannya untuk mencapai keberhasilan proses pemberdayaan, (b) Nilai budaya setempat yaitu seberapa jauh nilai-nilai budaya setempat dan lingkungan sosialnya mempengaruhi proses pemberdayaan.

Sabtu, 24 Maret 2012

Indonesia Butuh Sosok Dahlan Iskan

Dewasa ini masyarakat diliputi krisis kepercayaan terhadap para pemimpin negeri ini. Aksi premanisme dan demonstrasi-demonstrasi yang terjadi saat ini merupakan bentuk ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap penguasa negeri. Lalu, mengapa krisis kepercayaan ini bisa terjadi ?. Jawabnya, karena masyarakat kehilangan sosok pemimpin yang dapat menjadi suri tauladan.

Pantas masyarakat kehilangan sosok panutan, karena hampir sebagian masyarakat yang dipercaya untuk memimpin rakyat, ternyata malah terjerat dalam praktik-praktik KKN. Tidak heran jika Kasus korupsi hampir selalu menghiasi pemberitaan media, mulai dari kasus kecil hingga berskala besar. Namun berapa pun besarannya, korupsi tetap tindakan kriminal dan pelakuknya (Koruptor:red) tetap pencuri dan musuh dalam selimut yang menggerogoti uang rakyatnya, sehingga layak kita musuhi bersama. Kasus-kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini antara lain kasus uang pelawat kepada anggota DPR RI 1999-2004 dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda S. Goeltom, kasus korupsi Wisma Atlet dengan tersangka Angelina Sondakh dan Nazarrudin bahkan dikaitkan dengan nama ketua umum partai Demokrat Anas Urbaningrum, kasus Century, kasus Gayus Tambunan, dan masih banyak kasus-kasus korupsi yang lain.

Ditengah-tengah krisis kepercayaan akibat maraknya kasus korupsi, akhir-akhir ini kita mendengar kabar gembira dengan munculnya sosok yang mudah-mudahan dapat menjadi panutan masyarakat Indonesia. Ya, Dahlan Iskan adalah sosok yang sedang dibicarakan. Mungkin semua orang akan memberikan apresiasi kepada Dahlan Iskan karena totalitas dalam kinerjanya, sederhana dalam hidupnya, serta brilliant dalam ide-idenya. Sosoknya bahkan menggetarkan SBY untuk menariknya menjadi Dirut PLN dan Menteri BUMN.

Dahlan Iskan lahir 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur. Ia dilahirkan di lingkungan pedesaan dengan kondisi serba kekurangan, namun sangat religious. Menariknya ternyata tanggal lahir tersebut merupakan pilihan Dahlan Iskan, karena orang tuanya lupa kapan Iskan dilahirkan. Oleh karena itu Dahlan Iskan memilih 17 Agustus supaya mudah diingat. Walaupun pendidikannya hanya lulusan SMA (sangat sedikit sumber yang menerangkan riwayat pendidikan Dahlan Iskan; http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/19/07435355/Dahlan.Iskan.Anak.Miskin.yang.Jadi.Menteri), namun Dahlan Iskan sudah banyak menorehkan prestasi dalam kariernya.

Awal kariernya dimulai ketika Iskan menjadi reporter surat kabar di Samarinda (Kalimantan Timur) tahun 1975, kemudian tahun 1976 Ia menjadi wartawan Majalah Tempo. Setelah itu, sejak tahun 1982 Dahlan Iskan menjadi pemimpin di surat kabar Jawa Pos. Surat kabar Jawa Pos adalah surat kabar yang didirikan oleh The Chung Sen pada 1 Juli 1949 dengan nama Djawa Post. Namun, sejak tahun 1970-an mengalami kemorosotan hingga pada tahun 1982 oplahnya hanya 6.800 eksemplar saja. Kemudian The Chung Sen menjual Jawa Pos kepada Eric FH Samola (penerbit Koran Tempo). Pada saat itu Eric menunjuk Dahlan Iskan untuk memimpin Jawa Pos, karena Iskan merupakan kepala Biro Tempo di Surabaya. Dibawah kepemimpinan Iskan Jawa Pos mengalami perubahan yang signifikan yaitu membangkitkan oplah dari 6.000 eksemplar menjadi 300.000 eksemplar dalam kurun waktu 5 tahun. Selain itu keberhasilan Iskan di Jawa Pos yaitu membentuk Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada tahun 1997, Jawa Pos pindah ke gedung yang baru berlantai 21, Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya. Tahun 2002 dibangun Graha Pena di Jakarta. Dan, saati ini bermunculan gedung-gedung Graha Pena di hampir semua wilayah di Indonesia.

Perjalanan kariernya selanjutnya yaitu menjadi Komisaris PT. Fangbian Iskan Corporindo (FIC) dalam proyek pembangunan Sambungan Komunikasi Kabel Laut (SKKL) pada tahun 2009. SKKL ini akan menghubungkan Surabaya di Indonesia dan Hong Kong dengan panjang serat optik 4.300 kilometer. Pada tahun yang sama Iskan mendapat panggilan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk menduduki jabatan sebagai Direktur Utama PT PLN menggantikan Fahmi Mochtar. Kepemimpinan Fahmi dianggap kurang berhasil karena sering terjadi pemadaman listrik. Namun, dibawah tangan dingin kepemimpinan Dahlan Iskan, permasalahan ini dapat diatasi dalam waktu 6 bulan melalui gebrakan bebas byar pet. Selain itu Iskan juga menginisiasi gerakan sehari sejuta sambungan dan pembangunan PLTS di 100 pulau pada tahun 2011. Sebelumnya, tahun 2010 PLN telah berhasil membangun PLTS di 5 pulau di Indonesia bagian Timur yaitu Pulau Banda, Bunaken Manado, Derawan Kalimantan Timur, Wakatobi Sulawesi Tenggara, dan Citrawangan.

Keberhasilan Iskan di PT. PLN semakin membuat SBY kesengsem atas kinerjanya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kinerja dan citra KIB II, SBY mengangkat Dahlan Iskan menjadi Menteri BUMN menggantikan Mustafa Abubakar pada 19 Oktober 2011. Master Plan Dahlan Iskan sebagai menteri BUMN yaitu membangun Industri Pangan yang kokoh, membangun industri kapal komoditi, seperti BBM, sawit (bidang transportasi), membangun jalur transportasi kereta api “Double Track” Jakarta-Surabaya, dan membangun LNG receiving terminal serta pipanisasi gas trans Jawa dalam dua tahun untuk menampung untuk kebutuhan gas dalam negeri dan keperluan ekspor. Harapannya dengan pendekatan korporasi ala Dahlan Iskan BUMN kita tidak akan kalah dengan sektor-sektor swasta.

Visi kerja Dahlan Iskan juga didukung dengan gaya hidup yang sederhana dan tegas. Dahlan Iskan memang berpenampilan bersahaja, tidak terikat dengan uniform, dan tanpa protokoler. Budaya itu diterapkan dirinya sejak lama, sejak dirinya memimpin di Jawa Post Group (JPG). Selain itu, ketegasannya pun tidak diragukan lagi. Mungkin publik teringat dengan kejadian 30 Maret 2012 di Gerbang Tol Senayan Jakarta. Ya, Iskan meluapkan emosinya ketika melihat ada loket yang tidak dibuka, sehingga tak pelak antrian mobil berderet di depan gerbang tol tersebut. Tanpa basa-basi Iskan pun membuka pintu penghalang dan membiarkan mobil masuk secara gratis. Kejadian ini membuktikan Indonesia membutuhkan sosok seperti Dahlan Iskan yang sederhana dan tegas. Semoga Dahlan Iska akan semakin bagus kinerjanya dan semakin dekat dengan rakyat, karena rakyat Indonesia merindukan karakter-karakter pemimpin seperti Dahlan Iskan.