Minggu, 06 Januari 2013

Formulasi Model Kelompok dalam Kebijakan Upah Minimum



Dalam beberapa hari yang lalu media di tanah air banyak mengabarkan aksi demonstrasi para buruh industri. Kota-kota di Indonesia yang notabene sebagai pusat pertumbuhan Industri seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Depok, Bekasi dan beberapa daerah lain menghadapi tuntutan buruh terkait dengan Upah Minimum yang ditetapkan. Upah Minimum Kabupaten/Provinsi dianggap oleh para buruh sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ekonomi yang terjadi, dimana inflasi  selalu mengalami kenaikan. Akibatnya harga-harga barang dan jasa juga mengalami kenaikan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta setelah menghadapi tuntutan buruh yang tergabung dalam beberapa kelompok serikat buruh, akhirnya menetapkan Kebutuhan Hidup Layak sebesar 2,2 Juta Rupiah. Namun permaslahan tidak berhenti sampai penetapan KHL, karena kebijakan ini walaupun sudah diterima oleh kelompok buruh namun masih mendapatkan resistensi dari para pengusaha yang tergabung dalam Apindo. Permasalahan di Jakarta tersebut, hanya merupakan contoh dari banyak daerah lain yang bergejolak dalam penentuan upah minimum baik Kabupaten maupun Provinsi.
 Jika mengacu pada tipologi formulasi kebijakan, maka kasus penetuan upah minimum tersebut termasuk ke dalam tipe formulasi model kelompok. Formulasi kebijakan model kelompok menegaskan bahwa sebuah kebijakan yang diambil merupakan hasil kompromi dari beberapa kelompok yang berkepentingan. Para individu yang memiliki kepentingan mengikatkan diri secara formal maupun informal dalam suatu kelompok demi melancarkan tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah. Kelompok ini lah yang akan menjadi kekuatan dan jembatan penting antara individu dengan pemerintah.
Kebijakan merupakan perjuangan antar kelompok. Dalam konteks penetuan upah minimum kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat antara lain serikat pekerja (seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dan Pemerintah.  Serikat pekerja sebagai pihak yang notebene sebagai pihak yang mewakili kepentingan buruh, dan kemudian Apindo sebagai wakil dari kepentingan para pemiliki modal. Kepentingan buruh lebih berorientasi pada upaya untuk mendapatkan upah yang tinggi, sedangkan para pemilik modal berkepentingan untuk mendapatkan tenaga kerja yang dapat dibayar rendah demi mendapatkan profit. Disisi lain pemerintah juga memiliki kepentingan-kepentingan baik kepentingan yang manifest maupun laten.
            Tahapan selanjutnya adalah mencari ekuilibrium dari masing-masing kepentingan. Menurut Kusumanegara (2010:21) tahapan ini sudah memasuki tugas dari sistem politik yaitu untuk :
a)      Memapankan aturan main yang berlaku bagi perjuangan kelompok
b)      Mengatur kompromi dan menyeimbangkan kepentingan
c)      Membentuk kompromi dalam bentuk kebijakan  
Jadi sistem politik tersebut secara garis besar untuk mengatur konflik kepentingan. Melakukan kompromi untuk menyeimbangkan kepentingan. Dalam menyusun kompromi tersebut tentunya masing-masing pihak akan menggunakan kekuatan pengaruhnya masing-masing. Adapun ada beberapa hal yang mempengaruhi kekuatan pengaruh dari kelompok-kelompok kepentingan, antara lain :
a)      Jumlah pengikut, anggota, atau massa dari organisasi
b)      Kekayaan yang dimiliki oleh organisasi
c)      Kepemimpinan organisasi
d)      Akses ke pembuat keputusan
Semakin besar jumlah anggota organisasi, maka akan semakin kuat pengaruhnya dalam proses untuk memasukkan kepentingan-kepentingan kelompoknya dalam kebijakan. Selain itu, semakin kaya dan akses luas kepada pembuatan kebijakan, maka kepentingannya pun akan semakin mudah masuk dalam pembuatan kebijakan.
Proses untuk mendapatkan ekilibrium tersebut diibaratkan dengan ring tinju. Pada proses itulah masing-masing kelompok kepentingan melakukan penekanan-penekanan, bargaining, negosiasi, dan kompromi atas berbagai tuntutan kelompok yang berpengaruh. Kebijakan yang dihasilkan biasanya merepresentasikan dari kelompok-kelompok yang berpengaruh.