Weber mengungkapkan
bahwa organisasi itu harus memiliki ciri-ciri pertama tugas-tugas harus
dideferensiasikan secara jelas (spesialisasi), sehingga akan melahirkan
tenaga-tenaga ahli. Kedua, posisi-posisi harus di susun berdasarkan
struktur
(Hierarkhi), sehingga mudah pertanggungjawabannya. Ketiga, aturan
birokrasi
harus dibuat secara formal untuk menciptakan keseragaman dalam
beraktifitas. Keempat,
semua pekerjaan atau transaksi harus dicatat. Kelima, semua
pegawai harus bersikap impersonal.
Keenam, promosi pejabat dilakukan berdasarkan kompetensi seseorang.
Menurut
Weber jika prinsip-prinsip tersebut dijalankan secara disiplin, maka
kinerja
birokrasi akan efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya.
Pemikiran Weber
tersebut kemudian banyak diadopsi oleh banyak negara khususnya
negara-negara
berkembang, salah satunya Indonesia. Namun, menurut Freed W. Riggs
Penerapan-penerapan prinsip Weber tersebut dalam masyarakat prismatis,
akhirnya
melahirkan formalisme yang tinggi. Masyarakat prismastis menurut Riggs
adalah
masyarakat transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern. Akibatnya
prinsip-prinsip Weber tersebut, terkesan hanya sebagai slogan, karena
kurang
didukung oleh karakter masyarakatnya. Jadi, formalism akhirnya mengalami
degradasi makna yaitu dipahami menjadi ketidaksesuaian antara apa yang
telah
dituliskan sebelumnya secara formal dengan apa yang dipraktikkan secara
riil.
Formalisme
dikaitkan dengan Public Interest
Jeremy Bentham (1776)
berpendapat bahwa kepentingan publik adalah “the
sum of interest of individual citizen each of whom seeks to achieve
maximum
happines and avoidance of pain”.
Kepentingan public sebagai akumulasi dari kepentingan-kepentingan
individu yang
menjadi tujuan bersama untuk mencapai kesejahteraan. Kepentingan public
kemudian dimaknai sebagai kepentingan masyarakat, bukan golongan atau
sekelompok orang. Oleh karena itu, administrator sebagai pelayan public,
harus
mampu menjadi pelayan kepentingan publik.
Namun, formalisme dalam
mewujudkan kepentingan public kerap terjadi. Misalnya pemerintah sering
menyampaikan data-data mengenai perkembangan tingkat kemiskinan, namun
dalam
penyusunan data-data tersebut tidak dilakukan sesuai prosedur atau
dimanipulasi. Padahal, data-data tersebut akan digunakan sebagai
informasi
dalam berbagai penyusunan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan.
Selain
itu, formalisme yang sering terjadi adalah dalam bidang proyek perawatan
jalan
raya. Proyek tidak dijalankan sesuai dengan spesifikasinya, penekanannya
asalkan aspal rampung tetap untung.
Jadi, tidak mengherankan jadi baru beberapa bulan di aspal, jalan rusak
kembali. Padahal, jalan adalah barang public yang sangat dibutuhkan oleh
semua
lapisan masyarakat untuk mendukung mobilisasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar