Selasa, 18 Desember 2012

Formalisme dalam Birokrasi

Pemikiran Weber mengenai birokrasi memiliki pengaruh dalam tata kelola organisasi. Weber memang tidak secara jelas mengungkapkan tentang konsep birokrasi, Weber lebih  mengungkapkan karakteristik organisasi administrasi yang seharusnya. Konsepnya organisasinya tersebut kemudian lebih dikenal dengan birokrasi yang legal dan rasional. Menurut Weber birokrasi pada saat itu bersifat tidak rasional, karena syarat dengan political-will pimpinan Dinasti Hohenzollem di Prusia. Akibatnya banyak pegawai yang tidak sesuai dengan posisinya dan bahkan tugas yang tidak maksimal karena dikerjakan bukan oleh ahlinya. Oleh karena itu, Weber memiliki pemikiran bahwa birokrasi itu harus bersifat legal-rasional, artinya birokrasi itu harus diatur melalui aturan-aturan formal tidak seenaknya sendiri, sehingga dapat dijelaskan dan dapat dipelajari.
Weber mengungkapkan bahwa organisasi itu harus memiliki ciri-ciri pertama tugas-tugas harus dideferensiasikan secara jelas (spesialisasi), sehingga akan melahirkan tenaga-tenaga ahli. Kedua, posisi-posisi harus di susun berdasarkan struktur (Hierarkhi), sehingga mudah pertanggungjawabannya. Ketiga, aturan birokrasi harus dibuat secara formal untuk menciptakan keseragaman dalam beraktifitas. Keempat, semua pekerjaan atau transaksi harus dicatat. Kelima,  semua pegawai harus bersikap impersonal. Keenam, promosi pejabat dilakukan berdasarkan kompetensi seseorang. Menurut Weber jika prinsip-prinsip tersebut dijalankan secara disiplin, maka kinerja birokrasi akan efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya.
Pemikiran Weber tersebut kemudian banyak diadopsi oleh banyak negara khususnya negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Namun, menurut Freed W. Riggs Penerapan-penerapan prinsip Weber tersebut dalam masyarakat prismatis, akhirnya melahirkan formalisme yang tinggi. Masyarakat prismastis menurut Riggs adalah masyarakat transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Akibatnya prinsip-prinsip Weber tersebut, terkesan hanya sebagai slogan, karena kurang didukung oleh karakter masyarakatnya. Jadi, formalism akhirnya mengalami degradasi makna yaitu dipahami menjadi ketidaksesuaian antara apa yang telah dituliskan sebelumnya secara formal dengan apa yang dipraktikkan secara riil.

Formalisme dikaitkan dengan Public Interest
Jeremy Bentham (1776) berpendapat bahwa kepentingan publik adalah “the sum of interest of individual citizen each of whom seeks to achieve maximum happines  and avoidance of pain”. Kepentingan public sebagai akumulasi dari kepentingan-kepentingan individu yang menjadi tujuan bersama untuk mencapai kesejahteraan. Kepentingan public kemudian dimaknai sebagai kepentingan masyarakat, bukan golongan atau sekelompok orang. Oleh karena itu, administrator sebagai pelayan public, harus mampu menjadi pelayan kepentingan publik.
Namun, formalisme dalam mewujudkan kepentingan public kerap terjadi. Misalnya pemerintah sering menyampaikan data-data mengenai perkembangan tingkat kemiskinan, namun dalam penyusunan data-data tersebut tidak dilakukan sesuai prosedur atau dimanipulasi. Padahal, data-data tersebut akan digunakan sebagai informasi dalam berbagai penyusunan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan. Selain itu, formalisme yang sering terjadi adalah dalam bidang proyek perawatan jalan raya. Proyek tidak dijalankan sesuai dengan spesifikasinya, penekanannya asalkan aspal rampung tetap untung. Jadi, tidak mengherankan jadi baru beberapa bulan di aspal, jalan rusak kembali. Padahal, jalan adalah barang public yang sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat untuk mendukung mobilisasinya.
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar