Overview
Pelayanan publik
merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Pelayanan publik yang
baik, akan mendorong tumbuhnya kesejahteraan dan kepuasan masyarakat. Dalam
ranah makro misalnya jika pelayanan dalam investasi baik maka akan mendorong
tumbuhnya aktivitas-aktivitas ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja dan
memunculkan usaha baru bagi masyarakat. Selain itu pelayanan publik juga
merupakan cerminan dari kinerja birokrasinya. Jika pelayanan publiknya baik,
logikanya berarti sistem dalam birokrasnya juga berjalan dengan baik. Namun,
jika kualitas pelayanan publiknya rendah, maka logikanya sistem dalam
birokrasinya juga tidak berjalan maksimal.
Pelayanan publik di
Indonesia diakui atau tidak memang masih memilliki banyak permasalahan. Menko
Perekonomian Hatta Radjasa mengungkapkan ada tiga hal yang menyebabkan
rendahnya daya saing Indonesia yaitu tingginya angka korupsi, rendahnya
pelayanan publik dan kondisi ketersediaan infrastruktur yang tergolong masih
minim (sumber: http://finance.detik.com/read/2012/09/13/162016/2017783/4/hatta-masalah-korupsi-pelayanan-publik-dan-infrastruktur-segera-perbaiki,
diakses pada Kamis, 6 Desember 2012). Permasalahan dalam pelayanan publik salah
satunya yaitu dalam konteks etika. Pelayanan pada birokrasi publik masih
diwarnai dengan pelayanan yang kurang ramah, berbelit-belit, kurang transparan,
dan syarat dengan praktik KKN. Berdasarkan laporan Transparency International, Indonesia menempati peringkat 118 dari
176 negara terkorup di dunia. Fenomena-fenomena ini semakin menunjukkan etika
pelayanan publik di Indonesia masih rendah.
Padahal, seharusnya pelayanan publik harus mampu membuat masyarakat
merasa di tolong dan terpenuhi kebutuhannya.
Fenomena-fenomena red tape tersebut muncul sebagai
konsekuensi atas diskresi yang dimiliki oleh eksekutif. John A. Rohr (dalam
Keban, 2008:166) menyatakan bahwa diskresi administrasi merupakan starting point bagi masalah moral atau
etika dalam administrasi publik. Manajemen pelayanan publik tentunya harus
berdasarkan etika administrator yang baik, jangan sampai diintervensi dengan
kepentingan-kepentingan individu atau kelompok melainkan harus atas nama
kepentingan publik. Jadi kajian etika sangat diperlukan dalam mewujudkan
pelayanan publik yang berorientasi kesejahteraan masyarakat bukan golongan.
Definisi
Etika Pelayanan Publik
Sebelum memahami arti
dari etika pelayanan publik, tentunya harus dipahami dulu makna dari etika dan
pelayanan publik. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan atau watak. Solomon (dalam Kumorotomo,
2007: 7) menjelaskan bahwa etika mencakup dua hal yaitu pertama, etika sebagai disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai
yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya dan kedua, nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku
manusia. Pendapat Solomon menekankan bahwa etika merupakan cabang ilmu dan
nilai-nilai untuk mengatur tingkah laku manusia. Sedangkan Bertens (dalam
Keban, 2008:167) menyimpulkan bahwa etika meliputi (1) nilai-nilai moral dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya, (2) kumpulan asas atau nilai moral yang dikenal
dengan kode etik, (3) ilmu tentang baik dan buruk atau yang disebut dengan
filsafat moral. Pada dasarnya pendapat Solomon dan Bertens mengemukakan dua
substansi yaitu dari sudut keilmuan dan praktik. Sudut pandang keilmuan etika
dipandang sebagai cabang ilmu, sedangkan dari sisi praksis etika merupakan
nilai yang dijadikan pedoman untuk mengatur tingkah laku. Jadi, etika merupakan
nilai-nilai yang dianut untuk mengatur tingkah laku manusia dalam ruang
kehidupannya.
Pelayanan
publik berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 yaitu kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Jadi, pelayanan publik merupakan usaha pemenuhan kebutuhan
masyarakat dari penyelenggara pelayanan publik.
Setelah
mengetahui makna etika dan pelayanan publik, maka selanjutnya adalah memaknai
arti dari etika pelayanan publik. Menurut Denhardt (dalam Keban, 2008: 168)
etika pelayanan public diartikan sebagai filsafat dan professional standart
(kode etik), atau moral atau right rules
of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh
pemberi pelayanan publik atau administrator publik. Definisi Denhardt tersebut
menekankan etika pelayanan publik sebagai kode etik. Selain itu, Rohman, dkk
(2010: 24) mendefinisikan bahwa etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam
melayani publik denagan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung
nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang
dianggap baik. Definisi Rohman dkk tersebut menekankan penggunaan nilai-nilai
luhr dalam pelayanan publik. Jadi, jelas bahwa etika pelayanan publik merupakan
penggunaan nilai-nilai luhur oleh seorang administrator dalam memberikan
pelayanan publik.
Pergeseran Etika
Pelayanan Publik
Sesuai dengan
perkembangan kondisi lingkungannya, etika selalu mengalami pergeseran. Apa yang
dulu dianggap tidak baik, mungin sekarang dianggap baik, begitu sebaliknya. Misalnya
pendekatan pembangunan top down munkin
merupakan sesuatu yang dianggap baik, namun pada era sekarang pembangunan
dengan pendekatan itu sudah tidak layak lagi. Pergeseran paradigm etika
pelayanan publik disampaikan oleh Denhardt dalam bukunya yang berjudul The Ethics of Public Service pada tahun
1988. Adapun pergeseran paradigm etika pelayanan publik meliputi lima model
yaitu :
a) Model I Tahun 1940an
Pada Periode ini tokoh yang berpengaruh yaitu Wayne A.R. Leys. Pada tahun 1944 Leys
memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana
menghasilkan keputusan kebijakan publik yang baik. Cara yang disampaikan oleh
Leys yaitu dengan meninggalkan kebiasaan atau tradisi yang selama ini menjadi
pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan, karena pemerintah
terus berhadapan dengan masalah baru. Jadi, keputusan dianggap etis jika dalam
pembuatan keputusan tidak hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan
atau tradisi yang ada.
b)
Model II tahun 1950an
Pada
periode ini tokohnya yaitu Hurst A. Anderson. Substansinya etika pelayanan
publik akan baik jika mampu merefleksikan nilai-nilai dasar (Core Value) masyarakat yang meliputi kebebasan, kesetaraan,
keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
c)
Model III tahun 1960an
Robert
T. Golembiewski mengungkapkan bahwa untuk menilai etika pelayanan publik yang baik harus meninggalkan teori-teori
organisasi tradisional dan berganti sesuai dengan masanya. Hal ini dikarenakan
teori-teori organisasi akan terus berkembang sesuai dengan lingkungannya.
d)
Model IV tahun 1970an
Paradigma
ke IV ini mengatakan bahwa agar menjadi etis seorang administrator harus
benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan standar
atau asumsi yang melandasi pembuatan
keputusan administratif. Standar-standar tersebut mungkin akan berubah dari
waktu ke waktu dan isi dari standar tersebut harus merefleksikan komitmen
terhadap nilai dasar dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan
bertanggung jawab penuh terhadap standar-standar yang digunakan dan terhadap
keputusan itu sendiri.
e)
Model V 1970-1980an
Pada
periode ini tokoh yang berkontribusi yaitu John Rohr dalam Ethics of Bureaucrats (1978) dan Terry L dengan bukunya The Responsible Administrator (1986). Kedua
penulis itu mensyaratkan bahwa seorang administrator dikatakan etis apabila
dalam proses pengambilan keputusan memiliki prinsip independensi. Tidak boleh
tergantung dari pemikiran pihak-pihak yang lain.
f)
Model VI
Model
VI ini pada dasarnya menggambarkan pemikiran Cooper bahwa antara administrator,
organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika para administrator
justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Jadi,
lingkungan organisasi sangat menentukan bahkan begitu menentukan sehingga
seringkali para administrator hanya sedikit “otonomi berertika”.
Mengacu
pada pergeseran etika yang disampaikan oleh Denhardt tersebut,jelas bahwasanya
etika sudah menjadi perhatian khusus dalam proses pelayanan atau administrasi
publik.
Etika
Pelayanan Publik Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009
Dalam mewujudkan
pelayanan publik yang berkualitas dan demi terpenuhinya hak serta kewajiban
masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik, maka pemerintah sebagai pemegang
otoritas mengeluarkan UU No. 25 tentang Pelayanan Publik. Salah satu hal yang
dibahas dalam undang-undang ini yaitu mengenai prinsip nilai yang menjadi acuan
perilaku dalam memberikan pelayanan publik dari pemberi layanan kepada
masyarakat. Prinsip nilai dibutuhkan sebagai upaya menyesuaikan tatanan nilai
masyarakat yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan nilai
ini tentunya akan mengubah standar harapan masyarakat dalam pemenuhan
kebutuhannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu acuan perilaku dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Adapun acuan perilaku dalam UU No. 25 tahun 2009
adalah sebagai berikut :
a)
Adil dan tidak diskriminatif
b)
Cermat
c)
Santun dan ramah
d)
Tegas, andal, dan tidak memberikan
putusan yang berlarut-larut
e)
Profesional
f)
Tidak mempersulit
g)
Patuh pada perintah atasan yang sah dan
wajar
h)
Menjunjung tinggi nilai-nilai
akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara
i)
Tidak membocorkan informasi atau dokumen
yang wajib dirahasiakan dengan peraturan perundang-undangan
j)
Terbuka dan mengambil langkah yang tepat
untuk menghindari benturan kepentingan
k) Tidak
menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik
l)
Tidak memberikan informasi yang salah
atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam
memenuhi kepentingan masyarakat.
m) Tidak
menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki
n) Sesuai
dengan kepantasan
o) Tidak
menyimpang dari prosedur
Nilai-nilai tersebut memang sangat baik jika
diterapkan dengan sungguh-sungguh sebagai acuan perilaku dalam memberikan
pelayanan publik. Namun, dalam konteks empirisnya nilai-nilai diatas belum
menjadi budaya organisasi. Walaupun Good Governance telah masuk dalam
menjalankan mesin birokrasi, namun sejauh ini etika pelayanan publiknya belum
berubah secara signifikan. Komitmen pemimpin dan anggota untuk menciptakan
budaya organisasi yang baik adalah kunci awal untuk menciptakan etika pelayanan
publik yang luhur.
Pendekatan
dalam Etika Pelayanan Publik
Prinsip dasar dalam etika pelayanan publik yaitu apa yang baik dan buruk bukan benar dan salah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima layanan publik. Kartasasmita
(dalam Rohman, dkk: 2010: 25-27) mengungkapkan dua pendekatan dalam etika
pelayanan publik yaitu :
a)
Pendekatan Teleologi
Pendekatan
teleologi dalam etika berdasarkan apa yang baik dan buruk atau apa yang
seharusnya dilakukan oleh pejabat publik. Pendekatan ini memiliki acuan utama
yaitu nilai kemanfaatan yang diperoleh. Penilaian baik dan buruk didasarkan
atas konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam kaitannya dengan
pelayanan publik pendekatan teleologis misalnya mengukur pencapaian sasaran
kebijakan publik, seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan
pendidikan.
b)
Pendekatan Deontologi
Pendekatan
ini lebih mendasarkan pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan, karena
kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau
konsekuensi dari keputusan yang diambil. Pendekatan ini lebih melihat moral
masing-masing individu, pelayanan publik akan beretika jika diisi oleh
orang-orang yang mau dan mampu menegakkan prinsip-prinsip moral. Mewujudkan
pendekatan ini dalam manajemen pelayanan publik tidaklah mudah. Namun, jika
sudah melembaga dalam pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi akan dapat
menjadi teladan.
Dilema
Etika Pelayanan Publik
Dalam
mempelajari etika tentunya tidak semua orang memiliki cara pandang yang sama.
Masing-masing individu akan memiliki ukuran-ukuran yang berbeda untuk melihat
sesuatu itu baik atau buruk. Oleh karena itu, Denis Thompson (dalam Keban,
2008:177-180) menyampaikan beberapa isu dalam membahas etika yang dianggap
dilematis dan kontroversi yaitu antara etika netralitas dan struktur serta
antara etika absolut dan relatif. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a.
Etika Netralitas dan Etika Struktur
Etika
netralitas adalah menempatkan etika seseorang administrator sesuai dengan
kebijakan organisasi dan tidak boleh menerapkan prinsip-prinsip etika yang
dianutnya. Etika netralitas ini menuntut loyalitas yang tinggi bagi
administrator dan tidak mengakui adanya otonomi etika. Tentunya etika
netralitas ini sangat dilematis bagi seorang administrator. Jika administrator
memahami bahwa ada kesalahan dalam pengambilan keputusan, seorang administrator
tersebut akan bingung akan menyangkal keputusan itu atau akan secara buta
mengikutinya. Sedangkan etika struktur yaitu etika yang menempatkan pimpinan
organisasi sebagai penanggung jawab atas semua keputusan dan kebijakan, bukan
individu aparatnya. Oleh karena itu, jika terjadi kesalahan sebagai akibat dari
keputusan atau kebijakan yang telah diambil, maka pimpinan harus menanggung
resikonya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah kinerja organisasi akan
berjalan labil, karena pimpinan akan sering diganti.
b.
Etika Absolut dan Etika Relatif
Etika
absolut yaitu etika yang menempatkan norma-norma universal sebagai penuntun
perilaku dan standar dalam pembuatan keputusan. Norma-norma ini biasanya
bersumber dari ajaran agama atau filsafat hidup. Norma-norma tersebut perlu
dipertahankan sebagai pertimbangan logis dalam pembuatan keputusan. Misalnya
dalam pelayanan publik pemberi layanan maupun penerima layanan harus menjunjung
kejujuran dan keadilan. Kejujuran dan keadilan merupakan nilai yang diajarkan
dalam agama dan bersifat universal. Mereka yang memegang prinsip etika absolut
disebut sebagai kaum absolutis.
Antithesis
terhadap pandangan kaum absolutis datang dari kaum yang sering dinamakan kaum
relativis. Kaum relativis memandang bahwa tidak ada universal moral, artinya
etika itu relatif. Suatu norma dikatakan baik jika memiliki konsekuensi atau outcome yang baik. Pandangan ini
menempatkan etika pada hasil nyata. Kaum relativis memandang bahwa nilai-nilai
yang universal itu dianggap etis hanya dalam kondisi dan situasi tertentu. Misalnya
berbohong itu secara universal tidak baik, namun berbohong akan dianggap etis
jika membawa hasil yang baik. Oleh karena itu, kaum relativis percaya bahwa
tidak ada nilaii yang bersifat universal jika tidak dikaitkan dengan
konsekuensinya.
Birokrasi publik
sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam memberikan layanan kepada publik
harus memiliki administrator-administrator yang beretika baik. Pemerintah
memiliki otoritas hukum, berhak mengatur setiap warganya melalui
kebijakan-kebijakan publik yang dibuatnya. Oleh karena itu, konsekuensi moral
harus dipegang demi mencapai pelayanan publik yang pro dengan kesejahteraan
masyarakat.
Sumber
Pustaka :
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan Isu.
Yogyakarta: Gava Media
Rohman, Ahmad, dkk. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Malang: Averroes Press
Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Keban,
Yeremias T. 2001. Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya
bagi Pelayanan Publik di Indonesia. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi IV
Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar