Pembangunan sebagai proses induksi perubahan sosial terus berlangsung dan melewati berbagai pendekatan sesuai dengan perkembangan paradigmanya. Pemberdayaan masyarakat adalah salah satu pendekatan dari paradigma alternatif. Pendekatan ini muncul ke permukaan sekitar dekade 1970-an hingga akhir abad ke-20. Kemunculannya serumpun dengan aliran-aliran post-modern yang berkembang saat itu, seperti eksistensialisme, fenomenologi, neo-marxisme. Aliran ini menekankan pada sikap anti-estblishment, anti-sistem, anti-struktur, dan anti-determinisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan.
Pemberdayaan masyarakat dipandang sebagai pendekatan pembangunan yang lebih humanis dibandingkan pendekatan-pendekatan sebelumnya, seperti pertumbuhan ekonomi yang menganggap manusia sebagai faktor produksi. Sisi humanis pemberdayaan terletak pada penempatan manusia sebagai faktor kunci pembangunan.
Simon dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai:
Suatu aktivitas refleksif, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self determination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik (dalam Hikmat, 2006:10).
Meninjau definisi Simon, pemberdayaan masyarakat memiliki titik tekan pada self determination. Manusia menjadi berdaya bukan karena paksaan kepentingan pemrakarsa dari luar, namun manusia dapat berdaya karena ada motivasi dari dalam diri untuk berubah, sedangkan faktor dari luar hanya merupakan threatment sebagai bentuk intervensi semata. Pentingnya self determination juga disampaikan oleh Mc. Clelland melalui teori need for achievement. Ia menyampaikan bahwa :
Kegagalan pembangunan sebuah masyarakat disebabkan karena warga masyarakat tersebut tidak memiliki motivasi untuk berprestasi atau tidak memiliki need for achievement (N-Ach). Para warga bersikap fatalistis dan menerima nasibnya tanpa perlawanan (dalam Makmur, 2008: 50).
Statemen-statemen tersebut jelas bahwa motivasi diri merupakan kunci utama untuk menjadi berdaya dan sejahtera.
Kasmel dan Pernille Tanggard Andersen (2011) mengungkapkan tentang konsep pemberdayaan masyarakat (community empowerment) yaitu :
Bertolak dari pendapat Kasmel dan Pernille, pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai bentuk partisipasi masyarakat baik individu, organisasi maupun komunitas untuk memecahkan masalah lokalnya sendiri. Pandangan ini menempatkan pemecahan masalah secara berelompok dengan harapan terjadi sharing knowledge didalamnya, sehingga solusi yang dihasilkan merupakan hasil dialog dalam masyakat. Jika meninjau pendapat para ahli tentang pemberdayaan, dapat ditarik sebuah pemaknaan bahwa pemberdayaan merupakan upaya membangun yang datangnya dari dalam diri (self determination) dan didukung secara maksimal oleh lingkungannya. Jadi, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara pemberdaya, orang yang diberdayakan, dan lingkungan sosial budaya setempat.
Setiap pendekatan yang dikembangkan pada masanya pasti memiliki titik yang akan dituju. Pemberdayaan memiliki tujuan untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Sulistiyani (2004: 80) mendeskripsikan bahwa :
Kemandirian merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan, serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut.
Pendapat tersebut menghasilkan beberapa kemampuan sebagai hasil pemberdayaan. Pertama, kemampuan kognitif merupakan kemampuan berfikir berlandaskan pada pengetahuan dan wawasan. Kedua, konatif yaitu sikap perilaku masyarakat yang diarahkan pada nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Ketiga, kondisi afektif yaitu sense yang dimiliki oleh masyarakat yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Keempat, psikomotorik yaitu kecakapan dan keterampilan yang dimiliki.
Kemandirian sebagai sebuah tujuan, tentunya bukan merupakan proses yang instan. Sebagai proses pemberdayaan memiliki tiga sisi pemberdayaan (Wrihatnolo dan Dwidjowiyoto, 2007:3-7) yaitu :
a. Penyadaran
b. Pengkapasitasan
c. Pendayaan
Tahap pertama adalah penyadaran, prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka. Tahap kedua pengkapasitasan yaitu memberikan kemampuan (capacity building). Pengkapasitasan meliputi pengkapasitasan manusia (memberikan kapasitas kepada individu atau kelompok manusia untuk mampu menerima daya atau kekuasaan yang akan diberikan), organisasi (restrukturisasi), nilai (rule of the game). Tahap ketiga pendayaan yaitu memberikan daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang.
Sumodiningrat (dalam Sulistiyani, 2004:82-84) juga menyampaikan tahapan yang sama dengan Wrihatnolo dan Dwijowiyoto yaitu tahap penyadaran, transformasi kemampuan, dan pengayaan. Tahap penyadaran menekankan pada munculnya sikap konatif (sikap untuk tumbuh dan belajar) masyarakat, sedangkan tahap kedua memberikan porsi untuk mengembangkan keterbukaan wawasan dan kecakapan serta keterampilan-keterampilan dasar. Tahap ketiga, pengayaan yaitu peningkatan intelektualitas dan kecakapan serta keterampilan untuk membentuk kemandirian. Namun, secara implisit Sumodiningrat menyampaikan tahap berikutnya yaitu tahap pendampingan pasca berdaya. Hal ini untuk memberikan keberlanjutan membentuk sikap masyarakat yang dewasa.
Pada sisi yang agak berbeda Kasmel dan Anderson (2011) mengungkapkan konsep tahapan pemberdayaan, setelah ia melakukan elaborasi konsep dari beberapa teori. Ia mengungkapkan empat tahapan yaitu sebagai berikut:
Tabel 4. Konsep Pemberdayaan Kasmel dan Anderson
Tahap Pemberdayaan | Aspek |
Community Activation | · Kegiatan untuk mendorong partisipasi anggota masyarakat · Keterlibatan dan pemangku kepentingan · Motivasi pemimpin baru · Inisiasi dan stimulasi kelompok baru |
Community Competence | · Pelatihan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan anggota masyarakat dalam memecahkan masalah komunitas · Distribusi informasi tentang praktik yang baik · Berbagi informasi untuk meningkatkan pemahaman konsep dan teori |
Management Skill | · Pelatihan manajemen dan keterampilan · Pelatihan menggunakan informasi dan komunikasi |
Creation Supportif Environment | · Memberikan dukungan politik dan akses sumber daya · Menciptakan lingkungan sosial yang mendukung |
Sumber : Kasmel dan Anderson (2011)
Bertolak dari beberapa definisi dan pemaparan konsep tentang pendekatan pemberdayaan, maka dapat ditarik pemaknaan bahwa pemberdayaan masyarakat memiliki fokus pada pengembangan kualitas manusia. Pendekatan ini menyadari bahwa segudang permasalahan sosial yang ada di masyarakat hanya dapat dipecahkan oleh masyarakat itu sendiri sebagai subjek pembangunan. Adapun peneliti berkeyakinan bahwa untuk menjadi manusia yang berdaya/berkualitas harus melalui tahap penyadaran, peningkatan kapasitas, pendayaan dan dukungan lingkungan. Pertama, penyadaran yaitu upaya untuk menumbuhkan kesadaran individu atau masyarakat untuk membangun dirinya sendiri (konatif). Adapun untuk menggali proses pendayaan dapat digunakan beberapa indikator yaitu (a) sosialisasi program yaitu bagaimana tekhnik penyampaian pesan, sehingga pesan tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat tanpa menyinggung nilai dan norma setempat, (b) Need For Achievement yaitu kebutuhan yang tercermin dari perilaku individu sewaktu seseorang bersemangat tampak berani menantang bahaya sekalipun yang bersangkutan senantiasa mengarah pada suatu keberhasilan (Syafiie, 2006:91), (c) Partisipasi yaitu bentuk keiikutsertaan masyarakat terhadap pemecahan suatu masalah. Kedua, peningkatan kapasitas yaitu upaya mentransfer pengetahuan, keterampilan, manajemen, dan nilai-nilai yang dapat dijadikan acuan menuju kemandirian. Upaya peningkatan kapasitas dapat ditinjau dari beberapa indikator yaitu (a) Pelatihan keterampilan yaitu upaya memberikan pengetahuan praktis untuk meingkatkan kecakapan dan keahlian masyarakat, misalnya keterampilan menjahit dan memasak (b) Kelembagaan yaitu upaya untuk memberikan keahlian dalam bidang manajemen (pengelolaan), (c) Rule of the game yaitu menetapkan nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam melangkah. Ketiga, pendayaan yaitu upaya memberikan otoritas, peluang, dan kepercayaan kepada individu atau masyarakat untuk dapat berkembang sesuai dengan kreativitasnya. Tahap ketiga ini meliputi beberapa hal antara lain; (a) Otoritas yaitu seberapa jauh pihak pemberdaya memberikan kepercayaan dan wewenang kepada pihak yang diberdayakan untuk mengelola sendiri keahlian yang sudah didapatkan tanpa ada intervensi dari pihak pemberdaya namun dalam kerangka nilai yang telah dibentuk, (b) Inovasi yaitu upaya untuk mengembangkan hasil-hasil karya individu atau masyarakat sehingga nilai ekonomi dan kegunaannya dapat meningkat. Keempat, dukungan lingkungan yaitu kondisi lingkungan yang mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat. Adapun dukungan lingkungan ini meliputi: (a) Dukungan aktor yaitu bagaimana elit lokal maupun organisasi kemasyarakatan memberikan dukungannya untuk mencapai keberhasilan proses pemberdayaan, (b) Nilai budaya setempat yaitu seberapa jauh nilai-nilai budaya setempat dan lingkungan sosialnya mempengaruhi proses pemberdayaan.